Rabu, 02 Desember 2015

Pojok Pustaka : Pria itu Meludahi Buddha


Dikisahkan ulang oleh : Didik Setiabudi
( nyanabhadra)

Suatu hari,
Buddha sedang duduk santai berbincang-bincang dengan beberapa muridnya, bercakap-cakap sambil menikmati rimbunnya teduh di bawah pohon. 

Terlihat dari jauh ada seorang pria asing berjalan menuju arahnya.
Setibanya di hadapan Buddha, tanpa menguncapkan sepatah katapun dia langsung meludahi wajah Buddha.

Suasana tiba-tiba sunyi-senyap, Buddha spontan menarik jubah bagian bawahnya untuk membersihkan wajahnya, lalu bertanya,

“Lalu, apa yang ingin engkau sampaikan?” 

Beberapa bhante yang berada disamping Buddha kontan bereaksi keras. 
Bhante Ananda langsung angkat bicara,

“Ini benar-benar keterlaluan, kita tidak boleh membiarkannya. 
Dia harus dihukum, jika dibiarkan maka, nanti semua orang akan melakukan hal serupa lagi!”


Buddha menenangkan Ananda,

“Kamu hendaknya tetap tenang. 
Dia tidak menghina saya, justru Anda-lah yang menghina saya. 
Dia ini orang asing yang tidak dikenal. 
Tampaknya dia mendengar sesuatu tentang saya dari orang lain. 
Bisa jadi saya dituduh sebagai seorang atheis,
manusia berbahaya yang suka menjerumuskan orang lain, seorang pembangkang, atau koruptor. 

Pikiran pria itu tampaknya telah dipenuhi oleh berbagai gagasan tentang saya. 
Pria itu tidak meludahi saya, justru dia meludahi gagasanya sendiri. 
Pria itu telah meludahi gagasan dia tentang saya, 
Karena dia tidak kenal saya, jadi bagaimana mungkin dia meludahi saya?

Saya bukan bagian dari pikirannya, 
Saya yakin bahwa ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh pria malang ini, 
jadi meludah adalah cara dia menyampaikan sesuatu. 

Kadang engkau merasa ucapan tidak mampu melaksanakan tugasnya alias mentok; 
maka engkau menggunakan tindakan sebagai gantinya berbicara, 
engkau marah, engkau membenci, engkau mencintai, engkau berdoa.


Ketika engkau marah besar, engkau naik pitam, 
bahkan engkau menonjok pihak lain, engkau meludahi pihak lain, 
engkau ingin menyampaikan sesuatu. 
Saya bisa memaklumi hal demikian. 
Saya yakin dia ingin menyampaikan sesuatu, 
oleh karena itulah saya bertanya, “Lalu, apa yang ingin engkau sampaikan?”

Begitu pusing dan tidak tahu harus berbuat apa, 
pria malang itu pulang tanpa melontarkan sepatah katapun. 

Keesokan paginya, pria itu datang kembali bertemu Buddha. 
Dia langsung menghamburkan dirinya bersujud di hadapan kaki Buddha. 
Kemudian Buddha kembali bertanya, “Lalu, apa yang ingin engkau sampaikan?” 

Pria itu medongak kepalanya dan menjawab, “Maafkan perbuatan saya kemarin.”

Buddha membalas, 
“Memaafkan? 
Tapi saya bukanlah saya yang kemarin yang engkau ludahi."

Air di sungai Gangga terus mengalir, 
tidak akan pernah sama lagi setiap momen.

Setiap manusia adalah sungai. 
Manusia yang engkau ludahi kemarin 
sudah tidak ada lagi di sini. 

Saya mirip dengan saya yang kemarin, 
tapi tidak persis sama, 
sudah banyak peristiwa yang terjadi 
selama 24 jam! 

Air di dalam sungai itu telah mengalir 
dan mengalir. 
Jadi saya tidak bisa memaafkan Anda 
karena saya tidak ada rasa dendam sama sekali 
terhadap perbuatanmu.”


“Anda juga manusia baru hari ini. 
Saya bisa melihat bahwa kamu 
bukanlah kamu yang dengan penuh amarah 
lalu meludahi saya, 
sekarang Anda sedang bersujud di sini, 
menyentuh kaki saya. 
Bagaimana mungkin
 Anda sama dengan Anda yang kemarin? 

Anda sudah berbeda hari ini, 
jadi mari kita lupakan saja kejadian kemarin. 
Dua orang itu, 
dia yang meludahi dan dia yang diludahi 
sudah tidak ada lagi. 
Lihatlah dengan seksama. 
Mari kita berbincang-bincang hal lain.”


Diterjemahkan dan ditulis ulang dari: Wisdom Pills

Tidak ada komentar:

Posting Komentar